Selasa, November 01, 2011

Anakku, Katakan Apa Yang Kurang

Di terik siang yang menyengat aku menyaksikan beribu-ribu anak, berjuta-juta anak, yang masih sangat imut berbaris, berbondong-bondong menuju satu cita-cita dan mimpi yang sama. Leher bocah yang masih sangat imut itu dikalungi tampar yang mengikat leher mereka. Bapak ibu mereka menuntun bocah-bocah yang masih sangat imut bermata polos menuju ladang impian yang katanya berlimpah cahaya. Ladang impian yang ditatap dengan air liur menetes-netes karena hampir setiap orang, setiap ayah-ibu, setiap guru, setiap yang menyebut dirinya manusia, mendamba sepenuh-penuh hati bagai pengemis meratap di pintu rumah majikan.

Anak-anak itu, bocah yang masih sangat imut itu, yang tatapan matanya tidak menyiratkan apapun kecuali keluguan yang total, mengikut kemana pun langkah ayah-ibu. Anak-anak itu diam dan manut. Bahkan menjadi amat sangat penurut karena mereka dididik untuk menjadi seorang penurut dan penurut itu tidak boleh banyak bicara, tidak boleh berkata-kata kritis, tidak boleh memiliki ide, karena semua hal yang berkaitan dengan masa depan sudah disiapkan di ladang-ladang pendidikan. Anak-anak itu tinggal mengunyah saja tanpa harus perlu bicara.

“Ini bukumu. Ini alat tulismu. Ini tas sekolahmu. Ini baju seragammu. Ini sekolahmu. Ini guru bidang studimu. Ini guru privatmu. Ini konselor psikologimu. Ini cetak biru masa depanmu. Apa yang kurang anakku. Katakan, apa yang kurang?”

Di ladang-ladang tandus pendidikan anak-anak itu digiring, dipacu, dilecut potensi belajarnya. Guru-guru mereka adalah para dewa yang diimport dari langit. Tentu saja para dewa tidak bisa salah dan tidak pernah salah. Dewa-dewa itu selalu benar karena mereka dititahkan selalu berbuat benar. Tidak ada lagi makhluk langit yang berani menegur mereka. Tuhanpun tidak. Para dewa hanya percaya pada tuhan kepentingan: tuhan itu bernama formalisasi ilmu, formalisasi ijasah, formalisasi sertifikat, formalisasi tunjangan fungsional. Semua itu bermuara pada satu surga: uang.

Di tangan para dewa, guru-guru mereka, anak-anak itu digembleng untuk meraih cita-cita yang sama: eksis di masa depan, lihai menghisap apapun saja, dan kaya raya. Sejak dini, anak-anak itu hanya diajari cara berpikir linier dengan satu macam sudut pandang. Kalau tidak putih pasti hitam. Kalau tidak hitam pasti putih. Anak-anak itu buta dengan warna pelangi.

Hebat bukan? Bukankah lebih hebat para dewa, guru mereka, karena para dewalah yang mewariskan benteng kokoh cara berpikir linier yang mustahil roboh diguncang gempa. Konon, para dewa sudah dilatih sedemikian rupa bagaimana menaklukkan anak-anak. Mereka dibekali dengan perangkat keilmuan yang paling mutakhir. Tujuannya cuma satu: jadikan anak-anak itu anak penurut. Puncaknya, semakin kehilangan harkat kemanusiaan, semakin tinggi nilai akademik anak-anak itu.

Di ambang batas ambigu yang memuncak akhirnya anak-anak itu berkata-kata juga.
“Aku jenuh.”
“Kapan bermainnya…?”
“Iya, kapan bermainnya?”
“Ujian melulu. Capek aku.”
“Iya. Aku capek, lelah, jenuh.”
“Ujiannya susah. Banyak yang harus dihafalkan.”
“Aku sudah belajar habis-habisan. Ibuku bilang aku pemalas.”
“Ibuku juga bilang begitu.”

Beribu-ribu, berjuta-juta orangtua, bagai nyanyian masal menjawab celoteh anaknya. “Ini bukumu. Ini alat tulismu. Ini tas sekolahmu. Ini baju seragammu. Ini sekolahmu. Ini guru bidang studimu. Ini guru privatmu. Ini konselor psikologimu. Ini cetak biru masa depanmu. Apa yang kurang anakku. Katakan, apa yang kurang?” []

 - jagalan 250411 

Read More...
Bookmark and Share

2. Didin Ahmad Sholahudin

Didin Ahmad Sholahudin

(Kepala Bidang Keuangan)

Lahir di Jombang, 5 Juli 1975. Beralamat di Perumahan Firdaus Sengon Jombang, laki-laki yang akrab dipanggil Pak Didin bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keuangan SD Islam Roushon Fikr.

Alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 1999 ini kerap memberikan ide dan terobosan penting bagi perkembangan SD Islam Roushon Fikr. [] 

Read More...
Bookmark and Share

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP