Kamis, Februari 19, 2009

Memahami Masa Depan Karir Kita

Memahami Masa Depan Karir Kita
(Didin Ahmad)


Tiga bulan ini saya sengaja “menarik diri”, instropeksi, dan berusaha memahami banyak hal. Tentu…. itu semua demi kebaikan, kenyamanan, dan tujuan jangka panjang yang lebih fokus. Untuk siapa? Jelas, untuk my life, my family, and my roushon fikr. Passion saya tiga bulan menjelang tutup tahun 2008 ini memang tengah membuncah; hati dan pikiran saya serasa digedor-gedor. Semua itu dipantik oleh target usia 40 tahun; dimana semua hal yang menjadi tanggung jawab saya harus sudah ’settled’, atau memasuki fase stabil.


Jika kini usia saya 33 tahun, berarti waktu saya hanya tersisa tujuh tahun untuk menyiapkan itu semua. Ya, untuk roushon fikr saya harus mulai menyiapkan manajemen lembaga yang kredibel dan tidak rapuh , cash flow keuangan yang tidak
defisit, bangunan fisik yang “sederhana “tapi tetap elegan, investasi bisnis untuk persiapan dana abadi bagi para founders, SDM yang acceptable, responsible,dan empatik, brand lembaga yang kokoh dan tak terkalahkan, serta tentu menyiapkan & merancang skema dana pensiun bagi para pegawai (bukankah ini yang dicari banyak orang sehingga memilih jadi PNS??).

Saya memang tidak ingin berkeluh kesah. Saya hanya ingin memaparkan bahwa tugas dan tanggungjawab saya dan anda sama beratnya; sesuai proporsinya masing-masing. Meski saya tak hadir tiap hari disini; hati, pikiran, dan nurani saya tetap bekerja….. demi kebaikan kita bersama. Itulah mengapa, jika pimpinan kita sampai membuat keputusan tegas pada hari kamis, 11 Des 2008, saya sangat memahami dan membenarkan. Karena keputusan itulah yang seharusnya diambil!


Mulai hari ini saya ingin hadir secara tertulis dihadapan anda, untuk mengisi sedikit ruang di majalah dinding sekolah. Insya Allah saya akan hadir setiap senin, seminggu sekali. Itulah mengapa serial artikel manajemen (yang lama jadi atensi saya – dan sempat hilang ditelan hiruk pikuk pekerjaan) ini saya namakan Serial Artikel I LIKE MONDAY. So, mengapa lewat tulisan? Btw, membaca dan menulis memang telah menjadi passion saya sejak kuliah, dan dengan tulisan ini saya mungkin bisa menemukan outlet untuk mendedahkan segenap kegairahan saya untuk menulis.


Diawal tulisan, ada kalimat target usia 40 tahun. Mengapa? Life begins at forty, demikian sebuah kalimat ajaib yang acap kita dengar tentang pencapaian prestasi karir dan pekerjaan seseorang. Sebuah kalimat yang mungkin hendak menegaskan awal perjuangan melawan tantangan hidup sebenarnya. Sebab memang dari sejumlah riset empirik terbukti, orang pada usia 40-an yang paling banyak terguncang dalam apa yang disebut sebagai mid-life career crisis…..krisis karir yang acap menggedor kesadaran eksistensialnya dalam menapak sejarah hidup masa depan.


So…. Bagaimana penjelasannya. Sejumlah ahli manajemen karir mencatat adanya lima tahapan krusial yang akan dilalui setiap insan dalam merajut perjalanan karirnya.


1. Trial Stage. Kondisi ini dialami oleh mereka yang memasuki usia 23 – 29 tahunan. Fase ini merupakan tahapan dimana seseorang melakukan proses eksplorasi mengenai pilihan karir dan profesi yang paling tepat bagi dirinya. Orang-orang yang baru lulus kuliah acap dihinggapi kebimbangan mengenai profesi apa yang hendak mereka tekuni : apakah hendak menjadi entrepreneur, pegawai swasta atau pegawai negeri. (itulah mengapa saya tak pernah memberi bonus apapun selama awal-lima tahun anda bekerja disini. Karena saya berkeyakinan ada sebagian dari anda yang “trial” / coba-coba untuk bekerja di roushon fikr. Jika nyaman ya diteruskan… jika tidak / ada tawaran yang lebih bagus, ya hengkang!)


2. Stabilization Stage. Dilalui oleh mereka yang berusia 30 – 39 tahunan. Dalam fase ini seseorang telah memiliki pilihan karir yang lebih jelas; dan memiliki rencana yang lebih eksplisit mengenai jenis pengembangan dan jalur karir apa yang harus ditempuh. Mungkin ia telah merasa mantap menjadi seorang guru swasta, pedagang, wirausaha, trainer dalam bidang pelatihan SDM, atau spesialis dibidang pemasaran. (so… jika anda berubah haluan dalam masa ini, hati-hatilah….. ada yang salah dalam stabilitas kepribadian anda….. atau anda memang tidak merasa puas dengan pekerjaan / lingkungan kerja anda. Segeralah instropeksi dan menata diri.)


3. Mid Life Career Crisis Stage, dan sering dialami oleh mereka yang memasuki usia 38 hingga 42 tahunan (so, mungkin kalimat yang lebih tepat adalah ini : Career Crisis Begins at 40….). Dalam fase ini seseorang acap mengalami kegamangan dalam pencapaian karir yang selama ini telah direngkuhnya. Kegamangan ini bisa jadi dipicu oleh kejenuhan atas rutinitas kerja yang selama ini telah dengan begitu intens menderanya. Atau mungkin juga dipicu oleh keletihan fisik dan psikis yang selama ini acap menyelinap dalam relung kehidupannya.


4. Stabilization Stage, seseorang akan memasuki fase ’settled’ dengan pekerjaannya; dan fokusnya kini lebih pada usaha mengamankan (secure) posisinya. Dalam fase inilah, seseorang akan merasa comfort dan menekuni pekerjaannya dengan nyaman. Biasanya terjadi pada usia 42 - 45 tahun.


5. Declining Stage. Fase ini terjadi pada periode usia sekitar pertengangan 53-an keatas, dimana seseorang melakukan persiapan untuk pensiun. Acapkali terdapat motivasi yang kian menurun; meski kini kian banyak orang yang memasuki usia pensiun justru kembali bersemangat : maksudnya bersemangat melakukan usaha baru. Istilah kerennya : pensiunpreneur.


Demikianlah lima tahapan kunci yang akan dilewati setiap manusia dalam perjalanan panjang karirnya. Semoga kita bisa meninggalkan jejak yang indah dalam setiap tahapan kunci tersebut. So….untuk yang diterima PNS, selamat ! Harapan anda sudah terpenuhi (sebagian, tentu) untuk yang tidak.... yakinilah apa yang anda anggap baik belum tentu menurut Allah itu yang terbaik. Keep smile and enjoy your career.


rumah cahaya, jumat, 19 Des 08, 09.40 WIB

(diensahmad@ymail.com)

Read More...
Bookmark and Share

Jumat, Februari 06, 2009

Anakku Adalah Guruku

Anakku Adalah Guruku.
(Achmad Saifullah, S.Ag)


Sahabat, kamu pasti menduga aku akan bercerita canda tawa anak-anak. Kamu benar. Tak ada yang lebih mengasikkan selain menceritakan perilaku anak-anak yang kerap bikin akal sehat kita kedodoran. Aku sendiri makin menyadari, selama lima tahun, sekolah tempatku mengajar benar-benar menjadi “sekolah” bagi diriku. Di sana aku bukan hanya belajar bagaimana menjadi guru yang baik, aku juga memperoleh kesempatan yang sangat banyak untuk mengembangkan segala potensi kemanusiaan diriku.


Setiap hari aku bergumul bersama murid-murid sekolah dasar. Pergumulan itu terasa menantang dan kadang menghempaskan diri kemanusiaanku. Menantang, karena aku harus bisa memasuki dan merasuki dunia bermain anak, sebagaimana dikemukaan oleh buku-buku pendidikan kontemporer, untuk aku bawa ke dunia belajar. Namun, di saat yang sama aku terkadang ditelanjangi mentah-mentah oleh keluguan, kepolosan, dan kejujuran anak-anak. Seorang guru harus jujur, kita semua tahu. Dan jujur di hadapan siswa? Walah, susah bukan main.


Itulah peperangan yang kerap aku alami. Dalam sebuah pelajaran tertentu, aku harus menerangkan shalat Tahajjud. Tentu saja aku amat lihai mengupasnya secara teoritis. Biasanya aku menggunakan analogi sederhana agar anak-anak mudah menyerap pemahaman yang relativ abstrak di kepala mereka. Tibalah saatnya aku meminta anak-anak menjalankan shalat Tahajjud meski tidak setiap malam. Dan pada suatu pagi, sebelum mereka masuk kelas, seorang anak bertanya kepadaku, “Ustadz, tadi malam shalat Tahajjud pukul berapa?” Mampuslah aku, karena malam itu aku absen bertahajjud.


Sahabatku, aku meyakini siswa-siswi itu adalah anak-anak ruhaniku. Secara ruhani aku yang melahirkan mereka. Jika rahim ruhaniku dipenuhi noda ketidakjujuran, cela ketidak-amanahan, dosa ke-adigang-adigung-adiguna-an, apa jadinya anak-anak itu? Dengan sangat berat hati aku mengatakan bahwa tadi malam aku absen shalat Tahajjud. Sebuah pengalaman ruhani yang cukup dasyat. Dengan bahasa yang sangat telanjang aku mengakui keteledoranku di hadapan murid-muridku. Jika kita istiqamah berkaca diri pada beningnya telaga jiwa anak-anak niscaya dapat merubah diri kita menjadi seberkas cahaya.


Beberapa hari yang lalu seorang ibu berkirim surat. Anakku Adalah Guruku, demikian judul surat itu. Beberapa teman membaca surat itu sebelum diberikannya kepadaku. Aku membacanya dengan mata berkaca-kaca. Subhanallah. Aku semakin meyakini anak-anak itu, putra-putri kita, cucu-cucu kita, murid-murid kita dititipkan oleh Allah bukanlah tanpa maksud.


“Tujuan awalku menyekolahkan anakku dengan biaya yang bagiku cukup mahal adalah agar anakku pandai,” demikian tulis sang ibu. “Setelah satu tahun sekolah aku menjumpai perilaku putriku yang tak kuduga sebelumnya. Saat adiknya berusia satu tahun ulang tahun ia tidak dapat memberi hadiah apa-apa. Ia berkata, “Maaf ya, Dik. Mbak tidak punya sesuatu yang dapat diberikan. Mbak hanya bisa membacakan surat Al-Fatihah untukmu…”


Tentu saja aku terperangah, ungkap sang ibu. Aku segera membesarkan hatinya. “Tidak apa-apa, Nak. Justru itulah hadiah yang sangat besar dan berarti bagi adikmu. Mudah-mudahan adikmu panjang umur dan menjadi anak yang shalihah.”


Sahabatku, apa yang terpikir ketika seorang anak memiliki perilaku seperti itu? Siapakah yang menggerakkan mulutnya? Siapa yang menyentil saraf-saraf berpikirnya? Siapa pula yang merangkaikan kalimat untuknya? Sedangkan pada saat yang sama aku, kamu, dan kita semua tahu, anak-anak itu belum cukup sempurna cara berfikirnya, atau dalam bahasa fiqih-agama belum baligh.


Lantas apa yang dilakukan oleh sang ibu? Ia menulis, “Dalam hatiku aku bangga sekali. Anak seusia dia (kelas dua sekolah dasar) telah bisa memberikan kado yang sangat agung untuk adiknya. Padahal aku tidak pernah berfikir sejauh itu. Mulai saat itu aku mulai rajin membacakan Al-Fatihah untuk anak-anakku agar saat ini dan kelak mereka menjadi anak-anak yang shalihah.”


Marilah, sahabatku, kita belajar tentang hidup, tentang hari ini dan masa depan, tentang kejujuran kepada anak-anak yang kita anggap masih terlalu kecil mengajari kita pikiran-pikiran besar. Atau marilah kita belajar pada mereka bagaimana mengungkapkan rasa suka dan duka. Kita yang menilai diri sebagai manusia dewasa kerap kehilangan pijakan dalam memaknai suka dan duka, tak ubahnya seperti perilaku anak-anak kita. Lihatlah mereka saat hatinya berbunga-bunga. Ekspresi bahasanya spontan. Perilakunya melonjak-lonjak. Mereka merespon setiap situasi dengan meloncat dari satu kutub ekstrem ke kutub ekstrem lainnya. Itu semua tak apalah. Kita sering membahasakannya sebagai “tak apalah, toh mereka masih anak-anak.”


Sekarang mari kita lihat perilaku kita sendiri saat Allah menurunkan nikmat atau cobaan. Tidakkah kita juga meloncat dari dari satu kutub ekstrem ke kutub ekstrem lainnya? Saat bahagia kita berbahagia luar biasa; saat pikiran sumpek kita berpikir sumpek luar biasa. Respon hati kita terhadap fakta dan rasa sejauh ini selalu ekstrem. Di hadapan Allah, tidakkah kita tak ubahnya bocah kecil yang berotot kekar?


Bahwa Allah menurunkan nikmat atau cobaan kepada kita bukanlah semata-mata untuk membahagaikan atau menyedihkan kita, sesungguhnya itulah yang harus dicermati. Kalau Allah memberi nikmat sekedar untuk menyenangkan hati, itu sebuah harga murah yang tak sebanding dengan Ilmu Allah. Hal itu sama halnya menghargai bertumpuk=tumpuk lantakan emas dengan uang ratusan ribu rupiah. Begitu pula saat Allah menurunkan cobaan kepada kita supaya hati bersedih dan Be-Te, itu mah bukan maksud Allah yang sebenarnya. Terlalu sepele bagi Allah kalau tujuan pemberian nikmat atau musibah hanya untuk menyenangkan atau menyedihkan hati. Maha Suci Allah atas segela nilai tujuan yang sepele-sepele.


Yang ingin aku katakan, sahabatku, adalah marilah menggeser pandangan bahwa apapun yang menimpa kita ayo, mari, dilihat dengan kaca mata ilahi rajiun, kembali pada Allah. Saat berbahagia lillaah; saat berduka lillaah. Jika semua duka dan bahagia membawa kita selalu lillaah, apakah itu sebuah duka dan bahagia? Lillaah, hanya untuk dan kepada Allah, itulah nikmat agung yang terselubung dalam setiap peristiwa-peristiwa.


Oleh sebab itu, sahabat, jangan engkau melihat apa (materi) pemberian, kapan pemberian itu diberikan, dan dalam keadaan bagaimana pemberian itu sampai kepadamu. Bercerita kepadaku seseorang yang dalam beberapa hari ini diberi rejeki dari arah yang tidak diduganya sama sekali. Uang yang diterimanya membongkar logikanya sendiri tentang tujuan bekerja. Ia sangat bersukur, bangga, dan tak habis pikir.


Atas semua itu dalam hati aku berguman, itulah cara Allah menaklukkan hati. Mengapa dengan pemberian uang? Karena – mungkin, mungkin saja – hati kita baru takluk saat sesuatu yang diburu dan dianggap paling pokok oleh manusia jaman sekarang tiba-tiba datang dengan cara yang tidak masuk akal. Ringkas kata, kita memang masih “hati-duitan”. Untuk menundukkan cara berpikir kita yang keliru diberilah kita sesuatu yang menurut kita paling berharga. Bagi mereka yang tidak menjadikan uang sebagai kebutuhan pokok, Allah akan membuka hatinya dengan nilai-nilai ruhani yang lebih bermakna. Semua bergantung pada “kiblat berpikirnya” masing-masing.


Lalu, senanglah hati kita saat nikmat datang. Demi kesenangan itukah nikmat diberikan? Bukan. Ada banyak nilai yang dapat diurai. Namun, pokok dari semua itu tetap kembali pada sikap ilaihi raajiun. Bagaimana menyikapinya? Kalau engkau selama ini bergulat dengan pikiranmu sendiri, misalnya bergulat dengan kecemasan dalam memperoleh rejeki, datangnya pemberian yang tak terduga itu justru untuk meyakinkan hatimu bahwa dalam mengatur rejeki Allah tidak berlogika seperti logikamu. Kalau engkau selama ini bergulat dengan tantangan dalam membela agama-Nya, lalu tiba-tiba engkau diberi sesuatu yang sangat-sangat berharga dalam hidupmu, itu untuk meyakinkan hatimu (jadi yakinlah) bahwa jika engkau menolong Agama-Nya, Allah pun akan menolongmu.


Jadi, datangnya bahagia dan duka sesungguhnya untuk membongkar logika persepsi kita tentang kenyataan dan memantapkannya kembali pada kedua telapak kaki keyakinan agar lebih kokoh menghujam. Kalau kita meresponnya dengan frame duka-bahagia, lebih baik kita kembali belajar pada anak-anak.[]

Read More...
Bookmark and Share

Pengelola Pendidikan SD Islam Roushon Fikr

Pengantar. Sekolah atau orangtua kerap termakan oleh mitos bahwa kemampuan otak dapat dioptimalkan sedini mungkin sehingga model pendidikan yang dapat memacu kerja otak amat diprioritaskan. Penekanan pada aspek akademik yang berlebihan dalam pencapaian hasil belajar merupakan akibat dari salah kaprah ini. Akibat lain yang tidak kalah mengenaskan adalah anak kehilangan kemampuan belajar yang spontan dan alami.

Pengelola Pendidikan SD Islam Roushon Fikr

Dewan Pembina Yayasan Roushon Fikr Drs. H. A. Hafidz Ma'soem
Kepala Sekolah
Drs. H. Muhammad Farid, M.Si
Kepala Bidang Akademik
Savitri Nusantari, S.Pd
Kepala Bidang Keuangan, Personalia, dan Sarana Prasarana
Didin A. Sholahudin, SE
Kepala Bidang Kesiswaan & Humas
Sayekti Puji Rahayu, S.Pi
Kepala Bidang Penelitian & Pengembangan
Achmad Saifullah, S.Ag
Pelaksana Biro Konsultas Psikologi
Yuli Puji Rahayu, S.Psi

Bagi SD Islam Roushon Fikr, sekolah harus dapat menyajikan iklim belajar yang positif seoptimal mungkin. Dalam iklim belajar yang postif setiap anak (dengan segala potensi yang dimilikinya) akan mengikuti kegiatan belajar untuk menjadi pribadi unggul yang memiliki citra diri positif di hadapan Allah Swt dan masyarakat.[]

Read More...
Bookmark and Share

Kamis, Februari 05, 2009

Olimpiade Sains Kuark Tingkat Sekolah Dasar 2009

SD Islam Roushon Fikr pada hari Sabtu, 7 Pebruari 2009 akan menjadi tuan rumah Olimpiade Sains Kuark Tingkat Sekolah Dasar 2009. Sekolah dasar yang beralamat di Jl. Kapten Tendean Gang Seruni Pulo Lor Jombang, dipercaya menjadi tuan rumah babak penyisihan. Peran serta SD Islam Roushon Fikr dalam Olimpiade Sains Kuark Tingkat Sekolah Dasar 2009 merupakan upaya dan bukti nyata terhadap kepedulian perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan (Sains). "Terima kasih kami sampaikan kepada Panitia Penyelenggara Olimpiade Sains Kuark Tingkat Sekolah Dasar 2009 yang telah memberi kepercayaan kepada kami menjadi tuan rumah," tutur Sayekti Puji Rahayu, S.Pi. Peserta dapat membaca Ketentuan dan Sistem Seleksi Olimpiade Sains Kuark Tingkat Sekolah Dasar 2009 di sini.

Read More...
Bookmark and Share

Klip Video Pisah Kenang 2007/2008

Klip Video Pisah Kenang ini diambil di Selorejo Malang. Acara diadakan dalam rangka Pisah Kenang SD Islam Roushon Fikr bersama siswa kelas VI. Selamat jalan, anakku. Jalan masih teramat jauh. Mustahil berlabuh bila dayung tak terkayuh... Semoga potongan klip ini senantiasa menjadi kenangan terindah diantara warna pelangi kenangan selama enam tahun di SD Islam Roushon Fikr.

Read More...
Bookmark and Share

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP