Jumat, Februari 06, 2009

Anakku Adalah Guruku

Anakku Adalah Guruku.
(Achmad Saifullah, S.Ag)


Sahabat, kamu pasti menduga aku akan bercerita canda tawa anak-anak. Kamu benar. Tak ada yang lebih mengasikkan selain menceritakan perilaku anak-anak yang kerap bikin akal sehat kita kedodoran. Aku sendiri makin menyadari, selama lima tahun, sekolah tempatku mengajar benar-benar menjadi “sekolah” bagi diriku. Di sana aku bukan hanya belajar bagaimana menjadi guru yang baik, aku juga memperoleh kesempatan yang sangat banyak untuk mengembangkan segala potensi kemanusiaan diriku.


Setiap hari aku bergumul bersama murid-murid sekolah dasar. Pergumulan itu terasa menantang dan kadang menghempaskan diri kemanusiaanku. Menantang, karena aku harus bisa memasuki dan merasuki dunia bermain anak, sebagaimana dikemukaan oleh buku-buku pendidikan kontemporer, untuk aku bawa ke dunia belajar. Namun, di saat yang sama aku terkadang ditelanjangi mentah-mentah oleh keluguan, kepolosan, dan kejujuran anak-anak. Seorang guru harus jujur, kita semua tahu. Dan jujur di hadapan siswa? Walah, susah bukan main.


Itulah peperangan yang kerap aku alami. Dalam sebuah pelajaran tertentu, aku harus menerangkan shalat Tahajjud. Tentu saja aku amat lihai mengupasnya secara teoritis. Biasanya aku menggunakan analogi sederhana agar anak-anak mudah menyerap pemahaman yang relativ abstrak di kepala mereka. Tibalah saatnya aku meminta anak-anak menjalankan shalat Tahajjud meski tidak setiap malam. Dan pada suatu pagi, sebelum mereka masuk kelas, seorang anak bertanya kepadaku, “Ustadz, tadi malam shalat Tahajjud pukul berapa?” Mampuslah aku, karena malam itu aku absen bertahajjud.


Sahabatku, aku meyakini siswa-siswi itu adalah anak-anak ruhaniku. Secara ruhani aku yang melahirkan mereka. Jika rahim ruhaniku dipenuhi noda ketidakjujuran, cela ketidak-amanahan, dosa ke-adigang-adigung-adiguna-an, apa jadinya anak-anak itu? Dengan sangat berat hati aku mengatakan bahwa tadi malam aku absen shalat Tahajjud. Sebuah pengalaman ruhani yang cukup dasyat. Dengan bahasa yang sangat telanjang aku mengakui keteledoranku di hadapan murid-muridku. Jika kita istiqamah berkaca diri pada beningnya telaga jiwa anak-anak niscaya dapat merubah diri kita menjadi seberkas cahaya.


Beberapa hari yang lalu seorang ibu berkirim surat. Anakku Adalah Guruku, demikian judul surat itu. Beberapa teman membaca surat itu sebelum diberikannya kepadaku. Aku membacanya dengan mata berkaca-kaca. Subhanallah. Aku semakin meyakini anak-anak itu, putra-putri kita, cucu-cucu kita, murid-murid kita dititipkan oleh Allah bukanlah tanpa maksud.


“Tujuan awalku menyekolahkan anakku dengan biaya yang bagiku cukup mahal adalah agar anakku pandai,” demikian tulis sang ibu. “Setelah satu tahun sekolah aku menjumpai perilaku putriku yang tak kuduga sebelumnya. Saat adiknya berusia satu tahun ulang tahun ia tidak dapat memberi hadiah apa-apa. Ia berkata, “Maaf ya, Dik. Mbak tidak punya sesuatu yang dapat diberikan. Mbak hanya bisa membacakan surat Al-Fatihah untukmu…”


Tentu saja aku terperangah, ungkap sang ibu. Aku segera membesarkan hatinya. “Tidak apa-apa, Nak. Justru itulah hadiah yang sangat besar dan berarti bagi adikmu. Mudah-mudahan adikmu panjang umur dan menjadi anak yang shalihah.”


Sahabatku, apa yang terpikir ketika seorang anak memiliki perilaku seperti itu? Siapakah yang menggerakkan mulutnya? Siapa yang menyentil saraf-saraf berpikirnya? Siapa pula yang merangkaikan kalimat untuknya? Sedangkan pada saat yang sama aku, kamu, dan kita semua tahu, anak-anak itu belum cukup sempurna cara berfikirnya, atau dalam bahasa fiqih-agama belum baligh.


Lantas apa yang dilakukan oleh sang ibu? Ia menulis, “Dalam hatiku aku bangga sekali. Anak seusia dia (kelas dua sekolah dasar) telah bisa memberikan kado yang sangat agung untuk adiknya. Padahal aku tidak pernah berfikir sejauh itu. Mulai saat itu aku mulai rajin membacakan Al-Fatihah untuk anak-anakku agar saat ini dan kelak mereka menjadi anak-anak yang shalihah.”


Marilah, sahabatku, kita belajar tentang hidup, tentang hari ini dan masa depan, tentang kejujuran kepada anak-anak yang kita anggap masih terlalu kecil mengajari kita pikiran-pikiran besar. Atau marilah kita belajar pada mereka bagaimana mengungkapkan rasa suka dan duka. Kita yang menilai diri sebagai manusia dewasa kerap kehilangan pijakan dalam memaknai suka dan duka, tak ubahnya seperti perilaku anak-anak kita. Lihatlah mereka saat hatinya berbunga-bunga. Ekspresi bahasanya spontan. Perilakunya melonjak-lonjak. Mereka merespon setiap situasi dengan meloncat dari satu kutub ekstrem ke kutub ekstrem lainnya. Itu semua tak apalah. Kita sering membahasakannya sebagai “tak apalah, toh mereka masih anak-anak.”


Sekarang mari kita lihat perilaku kita sendiri saat Allah menurunkan nikmat atau cobaan. Tidakkah kita juga meloncat dari dari satu kutub ekstrem ke kutub ekstrem lainnya? Saat bahagia kita berbahagia luar biasa; saat pikiran sumpek kita berpikir sumpek luar biasa. Respon hati kita terhadap fakta dan rasa sejauh ini selalu ekstrem. Di hadapan Allah, tidakkah kita tak ubahnya bocah kecil yang berotot kekar?


Bahwa Allah menurunkan nikmat atau cobaan kepada kita bukanlah semata-mata untuk membahagaikan atau menyedihkan kita, sesungguhnya itulah yang harus dicermati. Kalau Allah memberi nikmat sekedar untuk menyenangkan hati, itu sebuah harga murah yang tak sebanding dengan Ilmu Allah. Hal itu sama halnya menghargai bertumpuk=tumpuk lantakan emas dengan uang ratusan ribu rupiah. Begitu pula saat Allah menurunkan cobaan kepada kita supaya hati bersedih dan Be-Te, itu mah bukan maksud Allah yang sebenarnya. Terlalu sepele bagi Allah kalau tujuan pemberian nikmat atau musibah hanya untuk menyenangkan atau menyedihkan hati. Maha Suci Allah atas segela nilai tujuan yang sepele-sepele.


Yang ingin aku katakan, sahabatku, adalah marilah menggeser pandangan bahwa apapun yang menimpa kita ayo, mari, dilihat dengan kaca mata ilahi rajiun, kembali pada Allah. Saat berbahagia lillaah; saat berduka lillaah. Jika semua duka dan bahagia membawa kita selalu lillaah, apakah itu sebuah duka dan bahagia? Lillaah, hanya untuk dan kepada Allah, itulah nikmat agung yang terselubung dalam setiap peristiwa-peristiwa.


Oleh sebab itu, sahabat, jangan engkau melihat apa (materi) pemberian, kapan pemberian itu diberikan, dan dalam keadaan bagaimana pemberian itu sampai kepadamu. Bercerita kepadaku seseorang yang dalam beberapa hari ini diberi rejeki dari arah yang tidak diduganya sama sekali. Uang yang diterimanya membongkar logikanya sendiri tentang tujuan bekerja. Ia sangat bersukur, bangga, dan tak habis pikir.


Atas semua itu dalam hati aku berguman, itulah cara Allah menaklukkan hati. Mengapa dengan pemberian uang? Karena – mungkin, mungkin saja – hati kita baru takluk saat sesuatu yang diburu dan dianggap paling pokok oleh manusia jaman sekarang tiba-tiba datang dengan cara yang tidak masuk akal. Ringkas kata, kita memang masih “hati-duitan”. Untuk menundukkan cara berpikir kita yang keliru diberilah kita sesuatu yang menurut kita paling berharga. Bagi mereka yang tidak menjadikan uang sebagai kebutuhan pokok, Allah akan membuka hatinya dengan nilai-nilai ruhani yang lebih bermakna. Semua bergantung pada “kiblat berpikirnya” masing-masing.


Lalu, senanglah hati kita saat nikmat datang. Demi kesenangan itukah nikmat diberikan? Bukan. Ada banyak nilai yang dapat diurai. Namun, pokok dari semua itu tetap kembali pada sikap ilaihi raajiun. Bagaimana menyikapinya? Kalau engkau selama ini bergulat dengan pikiranmu sendiri, misalnya bergulat dengan kecemasan dalam memperoleh rejeki, datangnya pemberian yang tak terduga itu justru untuk meyakinkan hatimu bahwa dalam mengatur rejeki Allah tidak berlogika seperti logikamu. Kalau engkau selama ini bergulat dengan tantangan dalam membela agama-Nya, lalu tiba-tiba engkau diberi sesuatu yang sangat-sangat berharga dalam hidupmu, itu untuk meyakinkan hatimu (jadi yakinlah) bahwa jika engkau menolong Agama-Nya, Allah pun akan menolongmu.


Jadi, datangnya bahagia dan duka sesungguhnya untuk membongkar logika persepsi kita tentang kenyataan dan memantapkannya kembali pada kedua telapak kaki keyakinan agar lebih kokoh menghujam. Kalau kita meresponnya dengan frame duka-bahagia, lebih baik kita kembali belajar pada anak-anak.[]

Bookmark and Share

1 komentar:

Anonim,  6 Maret 2009 pukul 15.49  

sepantaslah kita bercermin kepada anak-anak karena pada dasarnya di wajah, ucapan, gerak, perilaku, hingga hati mereka adalah diri kita
baik buruk anak-anak (didik kita) adalah manifestasi diri kita

Posting Komentar

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP